Demam atau dalam bahasa medis disebut dengan febris merupakan suatu keadaan dimana terjadi peningkatan suhu tubuh, dimana suhu tersebut melebihi dari suhu tubuh normal. Mungkin kita bertanya, mengapa suhu tubuh kita meningkat?? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, ada baiknya kita mencoba melihat kembali dan memahami tentang sistem pengaturan suhu tubuh kita. Suhu tubuh kita diatur oleh sebuah “mesin khusus” pengatur suhu yang terletak di otak tepatnya di bagian hipotalamus tepatnya dibagian pre optik anterior (pre = sebelum, anterior= depan) Hipotalamus sendiri merupakan bagian dari deinsephalon yang merupakan bagian dari otak depan kita (prosencephalon). Hipotalamus dapat dikatakan sebagai mesin pengatur suhu (termostat tubuh) karena disana terdapat reseptor (penangkap, perantara) yang sangat peka terhadap suhu yang lebih dikenal dengan nama termoreseptor (termo = suhu). Dengan adanya termorespetor ini, suhu tubuh dapat senatiasa berada dalam batas normal yakni sesuai dengan suhu inti tubuh. Suhu inti tubuh merupakan pencerminan dari kandungan panas yang ada di dalam tubuh kita. Kandungan panas didapatkan dari pemasukan panas yang berasal dari proses metabolisme makanan yang masuk ke dalam tubuh. Pada umumnya suhu inti berada dalam batas 36,5-37,5°C.
Dalam berbagai aktivitas sehari-hari, tubuh kita juga akan mengelurakan panas misalnya saat berolahraga. Bila mana terjadi pengeluraan panas yang lebih besar dibandingkan dengan pemasukannya, atau sebaliknya maka termostat tubuh itu akan segera bekerja guna menyeimbangkan suhu tubuh inti.Bila pemasukan panas lebih besar daripada pengeluarannya, maka termostat ini akan memerintahkan tubuh kita untuk melepaskan panas tubuh yang berlebih ke lingkungan luar tubuh salah satunya dengan mekanisme berkeringat. Dan bila pengeluaran panas melebihi pemasukan panas, maka termostat ini akan berusaha menyeimbakan suhu tersebut dengan cara memerintahkan otot-otot rangka kita untuk berkontraksi(bergerak) guna menghasilkan panas tubuh. Kontraksi otot-otok rangka ini merupakan mekanisme dari menggigil. Contohnya, seperti saat kita berada di lingkungan pegunungan yang hawanya dingin, tanpa kita sadari tangan dan kaki kita bergemetar (menggigil). Hal ini dimaksudkan agar tubuh kita tetap hangat. Karena dengan menggigil itulah, tubuh kita akan memproduksi panas.
Hal diatas tersebut merupakan proses fisiologis (keadaan normal) yang terjadi dalam tubuh kita manakala tubuh kita mengalamiperubahan suhu. Lain halnya bila tubuh mengalami proses patologis (sakit). Proses perubahan suhu yang terjadi saat tubuh dalam keadaan sakit lebih dikarenakan oleh “zat toksis (racun)” yang masuk kedalam tubuh.Umumnya, keadaan sakit terjadi karena adanya proses peradangan (inflamasi) di dalam tubuh. Proses peradangan itu sendiri sebenarnya merupakan mekanisme pertahanan dasar tubuh terhadap adanya serangan yang mengancam keadaan fisiologis tubuh. Proses peradangan diawali dengan masuknya “racun” kedalam tubuh kita. Contoh “racun” yang paling mudah adalah mikroorganisme penyebab sakit. Mikroorganisme (MO) yang masuk ke dalam tubuh umumnya memiliki suatu zat toksin/racun tertentu yang dikenal sebagai pirogen eksogen. Dengan masuknya MO tersebut, tubuh akan berusaha melawan dan mencegahnya yakni dengan memerintahkan “tentara pertahanan tubuh” antara lain berupa leukosit, makrofag, dan limfosit untuk memakannya (fagositosit). Dengan adanya proses fagositosit ini, tentara-tentara tubuh itu akan mengelurkan “senjata” berupa zat kimia yang dikenal sebagai pirogen endogen (khususnya interleukin 1/ IL-1) yang berfungsi sebagai anti infeksi. Pirogen endogen yang keluar, selanjutnya akan merangsang sel-sel endotel hipotalamus (sel penyusun hipotalamus) untuk mengeluarkan suatu substansi yakni asam arakhidonat. Asam arakhidonat bisa keluar dengan adanya bantuan enzim fosfolipase A2.
Proses selanjutnya adalah, asam arakhidonat yang dikeluarkan oleh hipotalamus akan pemacu pengeluaran prostaglandin (PGE2). Pengeluaran prostaglandin pun berkat bantuan dan campur tangan dari enzim siklooksigenase (COX). Pengeluaran prostaglandin ternyata akan mempengaruhi kerja dari termostat hipotalamus. Sebagai kompensasinya, hipotalamus selanjutnya akan meningkatkan titik patokan suhu tubuh (di atas suhu normal). suhu di luar tubuh sekarang berada dibawa dari suhu dalam tubuh dalam artian disini terjadi peningkatan suhu dalam tubuh, keadaan ini memberikan ketidak seimbangan diluar dan di dalam tubuh dan akibatnya terjadilah respon dingin/ menggigil. Adanya proses mengigil ini ditujukan utuk menghasilkan panas tubuh yang lebih banyak atau dapat diberikan selimut.. Literature lainyya menjelaskan bahwa kontraksi otot (menggigil) memberikan dampak berupa penurunan suplai darah ke jaringan. Dengan demikian tubuh akan mengeluarkan panas berupa keringat . Adanya perubahan suhu tubuh di atas normal karena memang “setting” hipotalamus yang mengalami gangguan oleh mekanisme di atas inilah yang disebut dengan demam atau febris. Demam yang tinggi pada nantinya akan menimbulkan manifestasi klinik (akibat) berupa kejang (umumnya dialami oleh bayi atau anak-anak yang disebut dengan kejang demam)Dengan memahami mekanisme sederhana dari proses terjadinya demam diatas, maka salah satu tindakan pengobatan yang sering kita lakukan adalah mengompres kepala dan meminum obat penurun panas misal yang sangat familiar adalah parasetamol.
Proses terjadinya berkeringat juga dijelaskan dalam literatur lain bahwa pemeriksaan mikroskropis
malaria membutuhkan syarat-syarat tertentu agar mempunyai nilai diagnostik yang tinggi (sensitivitas dan spesifisitas mencapai 100%).
Seperti Waktu pengambilan sampel harus tepat yaitu pada akhir periode demam memasuki periode berkeringat. Pada periode ini jumlah trophozoite dalam sirkulasi dalam mencapai maksimal dan cukup matur sehingga memudahkan identifikasi spesies parasit. Disini dapat disimpulkan bahwa terjadi proses peralihan suhu dalam tubuh dan diluar, yang dimana proses ini merupakan suhu tinggi dalam tubuh menjadi rendah akhirnya secara tidak langsung tubuh akan mengeluarkan panasnya berupa berkeringat.
Referensi :
Stefan Silbernagl & Florian Lang (Color Atlas Of Pathophysiology)